DENPASAR - Tuntutan ringan terhadap pemilik Flame Spa, Ni Ketut Sri Astari Sarnanitha alias Nitha, dalam kasus dugaan prostitusi terselubung mendapat sorotan tajam.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali hanya mengajukan hukuman 9 bulan penjara, meskipun Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengatur ancaman maksimal hingga 12 tahun penjara.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra, menjelaskan bahwa seluruh terdakwa dalam kasus ini dituntut hukuman 9 bulan penjara dengan dasar Pasal 29 Undang-Undang Pornografi jo Pasal 4 ayat 1 serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Masing-masing terdakwa dituntut 9 bulan penjara, ” ujar Eka Sabana saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu (19/2/2025).
Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan berlangsung pada 25 Februari 2025 dengan status tertutup untuk umum. Eka Sabana meminta agar pemberitaan hanya mengutip amar putusan tanpa narasi tambahan yang bersifat deskriptif.
Keputusan jaksa dalam kasus ini memicu perdebatan di masyarakat. Dibandingkan dengan kasus lain yang berkaitan dengan unsur pornografi namun tanpa eksploitasi ekonomi, tuntutan dalam kasus Flame Spa dianggap terlalu ringan.
Salah satu kasus yang menjadi perbandingan adalah perkara yang menjerat musisi Nazril Irham alias Ariel NOAH pada 2010. Saat itu, Ariel divonis 3, 5 tahun penjara meskipun tidak ada unsur transaksi dalam kasusnya.
Namun, dalam kasus Flame Spa, yang jelas-jelas melibatkan keuntungan ekonomi dalam operasionalnya, tuntutan yang diajukan jauh lebih ringan, menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik.
Sebelumnya, kasus ini juga telah menarik perhatian Ketua DPRD Bali dan sejumlah tokoh politik, termasuk Gubernur Bali terpilih, Wayan Koster. Ia menyatakan dukungannya terhadap langkah tegas yang diambil Polda Bali dalam memberantas praktik ilegal yang mencoreng citra moral dan budaya Pulau Dewata.
“Saya mendukung penuh tindakan Polda Bali dalam menindak praktik ilegal ini. Kita harus bersama menjaga Bali agar tetap berpegang pada nilai-nilai budaya dan moralitas, ” tegas Koster, Senin (16/12/2024).
Sebagai destinasi wisata yang berbasis pada adat dan budaya, Bali menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta kearifan lokal. Namun, keberadaan bisnis prostitusi berkedok spa seperti Flame Spa dianggap merusak citra pariwisata Bali.
Alih-alih memperkuat daya tarik budaya yang luhur, praktik ilegal ini justru menciptakan persepsi negatif dan mengurangi nilai pariwisata Bali menjadi sekadar objek eksploitasi bisnis gelap.
Masyarakat Bali yang selama ini berupaya menjaga nilai-nilai budaya merasa dirugikan oleh maraknya bisnis prostitusi terselubung. Keberadaan tempat-tempat seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum, tetapi juga berpotensi merusak reputasi Bali di mata wisatawan mancanegara.
Kasus ini bermula dari penggerebekan yang dilakukan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Bali pada 2 September 2024. Dalam operasi tersebut, polisi menemukan praktik prostitusi di dalam spa, dengan terapis yang melayani tamu dalam keadaan telanjang.
Polda Bali menetapkan lima tersangka, termasuk pemilik Flame Spa yang juga dikenal sebagai selebgram. Fakta bahwa bisnis ilegal ini memiliki omzet harian sekitar Rp 180-200 juta, atau mencapai Rp 6 miliar per bulan, menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat terkait tuntutan hukum yang dinilai terlalu ringan. (Ray)
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|